Rabu, 23 November 2011

Aliansi Solidaritas untuk Masyarakat Mesuji

Non-Government Organization Lampung yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas untuk Masyarakat Mesuji mengelar aksi di tugu Adi Pura, Pada Selasa, 22 November 2011. Aksi berjalan tertib dengan kawalan polisi setempat yang dimulai pada Pukul 09.00 Wib. Dalam orasinya mereka menuntut penyelesaian kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia oleh aparat yang terjadi pada konfik agraria antara warga dengan PT BSMI di Mesuji.


Disampaikan Indra Firsada, koordinator aksi,” Kami mengecam tindakan PT. BSMI yang menjadikan kepolisian sebagai tameng perusahaan, Sikap arogansi aparata pada konfilk agraria di Mesuji mengakibatkan tewasnya seorang warga yang bernama Zaelani (45 th) dan 6 orang lainya luka-luka,” ujarnya.

Keberadaan perkebunan sawit di Indonesia selalu saja mendatangkan masalah-masalah terutama dalam konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam hingga pelanggaran HAM serius, eksploitasi besar-besaran oleh Negara melalui tangan-tangan pengusaha ini telah merenggut banyak korban.

Orasi yang di lakukan Aliansi Solidaritas untuk Masyarakat Mesuji menuntut agar KAPOLRI menghukum dan menindak tegas aparat Brimob yang melakukan tindak kekerasan dan mencopot KAPOLDA Lampung dan KAPOLRES Tulang Bawang, Segera tarik aparat TNI dan POLRI yang menjaga di tanah sengketa, Mendesak POLRI agar netral dan tidak mengkriminalisasikan warga, meminta KOMNAS HAM untuk segera mengumumkan hasil temuannya di lapangan dan tuntutan-tuntutan lainnya terkait dengan masalah tersebut. (Febri Eka)

Jumat, 18 November 2011

KONFLIK KEHUTANAN REGISTER 45 SUNGAI BUAYA – MESUJI LAMPUNG

Adalah fakta bahwa kerusakan hutan di Provinsi Lampung sudah sangat menghawatirkan meliputi kurang lebih 65,47 % atau 657.927 Ha dari 1.004.735 Ha luas hutan Provinsi Lampung (berdasarkan rekalkulasi penutupan lahan Departemen Kehutanan tahun 2008). Kerusakan yang sangat parah justru terjadi pada kawasan hutan lindung (81,89 %) dan kawasan hutan produksi (84,10 %) dari masing-masing peruntukannya. Hal ini menunjukkan kegagalan pola pengelolaan hutan melalui mekanisme pemberian hak pengelolaan kepada berbagai perusahaan seperti telah berlangsung selama ini, disamping adanya perambahan hutan yang sering di stigmakan ke masyarakat. Padahal kalau masyarakat yang benar-benar melakukan perambahan hutan dapat dipastikan akan terjadi peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi mereka, atau lahirnya masyarakat kaya baru di sekitar kawasan hutan. Tetapi fakta juga menunjukkan bahwa masyarakat yang selama ini menghuni kawasan hutan adalah masyarakat miskin sederhana yang sekedar mempertahankan hak hidup di negeri yang konstitusinya  menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya. Kalaupun melakukan ‘perambahan’ hutan, mereka adalah korban dari praktek mafia kehutanan yang selama ini justru merajalela dan tidak pernah tersentuh oleh penegakan hukum. 
Gagalnya pola pengelolaan hutan di Provinsi Lampung yang mengakibatkan rusaknya hutan secara massif dan banyak lahan yang terlantar akibat ditinggalkan secara tidak bertanggungjawab oleh para pengusaha pemegang hak pengelolaan hutan setelah meraup keuntungan (baca : menjarah) dari dalamnya, mengakibatkan timbulnya keinginan masyarakat miskin tidak bertanah, umumnya para petani mengelola lahan-lahan terlantar dan tidak produktif untuk manfaat ke-ekonomian. Keinginan masyarakat ini bukan bersifat sporadis dan bermaksud penjarahan, apalagi bermaksud serakah meraup kekayaan, tetapi masing-masing punya alasan-alasan historis-sosiologis terhadap tanah-tanah yang ‘didudukinya’ kembali.
Kegagalan pengelolaan hutan ini juga tidak terlepas dari kesalahan penerapan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah terkait dengan penggunaan kawasan hutan, dan ini merupakan salahsatu factor yang menyebabkan terjadinya perambahan kawasan hutan di Provinsi Lampung, yaitu ; lemahnya pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang memperoleh ijin penggunaan hutan produksi sehingga menimbulkan penyimpangan-penyimpangan yang pada akhirnya mengakibatkan perubahan fungsin kawasan hutan, antara lain ; pertama, adanya kegiatan usaha pertanian tanaman semusim yang dilakukan oleh perusahaan pemegang HPHTI (alih fungsi kawasan hutan), adanya kerjasama dan pengalihan hak kelola dari perusahaan pemegang HPHTI kepada pihak lain secara tidak sah dan melawan hukum, perluasan HTI secara tidak sah melebihi ijin yang diberikan, penelantaran terhadap areal kawasan hutan produksi yang telah ada ijin penggunaannya oleh perusahaan pemegang HPHTI tetapi tidak mendapat sanksi apapun. Dan kedua, kebijakan penerbitan HPHTI tanpa memperhatikan aspek sosio-cultural dan hak-hak masyarakat adat sehingga melahirkan perlawanan dari masyarakat adat setempat.